YANG PENTING NULIS, BUKAN NULIS YANG PENTING.

Sebagai orang yang pernah berkuliah di Indonesia dan pernah mengajar dibeberapa kampus di Indonesia, saya adalah salah satu orang yang dibenci oleh cukup banyak akademisi. Mulut saya memang seperti Ahok hanya saja bukan didunia politik melainkan didunia akademik, saya sering mengkritik tentang Publikasi sampah dinegeri ini, tentu saja saya kritik karena saya peduli, kalau saya sudah tidak peduli, saya akan diam saja. Saya bahkan membuktikan bahwa Jurnal terindeks Sinta itu begitu mudahnya dimasuki hingga publikasi tipu-tipu yang saya karangpun bisa masuk ke Jurnal terindeks Sinta.


Jurnal Indonesia itu mudah sekali ditembus, Anda ngarangpun, editor dan riviewer juga malas tau, asal Anda punya duit pasti tembus. Padahal, Jurnal Nasional itu harusnya dibuat ketat supaya penulis disiplin, kalau penulis disiplin maka itu menjadi ajang latihan yang bisa membuat tulisan mereka bisa lebih bagus. Bukan malah nerima sampah, bahkan tulisan yang saya copy paste dan tambahi bumbu-bumbu ngibulpun bisa lolos.

Apa yang saya takutkan sejak dulu bahwa negara ini akan disorot akhirnya terjadi, Research Integrity Risk Index - RI² pada akhirnya merilis data dan menyorot kualitas publikasi yang buruk diberbagai negara termasuk di Indonesia, kalau kamu gak tahu Research Integrity Risk Index - RI², Research Integrity Risk Index - RI² adalah sebuah sistem pemeringkatan yang dirancang untuk mengukur tingkat risiko atau potensi adanya penyimpangan dari praktik riset yang berintegritas pada sebuah institusi (seperti universitas).

Kalau bahasanya terlalu rumit, mungkin kamu bisa memikirkannya dengan cara lain. Anggap saja skor ini kayak skor kamu pinjam duit dibank, kalau kamu suka nunggak utang dibank maka skormu lama-lama buruk dan kamu akan dianggap red flag oleh Bank, akibatnya kamu jadi susah pinjam uang dimasa depan. Dampak Research Integrity Risk Index - RI² ngeri-ngeri sedap, kalau kamu buruk maka nantinya dimasa depan kamu akan sulit cari dana hibah untuk riset, selain itu, kamu juga akan sulit publikasi kalau artikelmu terlihat terafiliasi dengan institusi yang redflag.

Mengerikannya karena Research Integrity Risk Index - RI² diakui oleh akademisi internasional, bahkan indeks ini dikutip dan menjadi subjek artikel di jurnal Nature. Nature itu salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi dan berpengaruh di dunia loh, mati gak tuh. Tentu, sekelas Nature gak mungkin asal mengakui, mereka tahu betul soal reputasi. Nature mau mengakui Indeks ini karena dikembangkan dan dikelola oleh om Lokman I. Meho, dimana om-om ini merupakan seorang akademisi dari American University of Beirut (AUB). AUB ini adalah universitas dengan reputasi internasional yang mapan loh, jadi jangan kamu tuduh kampus abal-abal.



Lalu, apa sih yang diukur dan bagaimana indeks ini membuat kategori?



Jadi, sederhananya indeks ini mengukur potensi atau risiko adanya penyimpangan dari praktik dan etika publikasi ilmiah di sebuah institusi. Kalau mau dibuat spesifik, indeks ini tidak mengukur kualitas pengajaran atau inovasi, melainkan berfokus pada "keganjilan" atau "anomali" dalam data publikasi. Indikator utama yang diukur untuk menghasilkan skor risiko (RI² Score) adalah:

  1. Tingkat Duplikasi Teks: Menganalisis seberapa banyak artikel dari sebuah universitas yang mengandung kesamaan teks signifikan dengan publikasi lain. Ini bisa menjadi indikator adanya plagiarisme atau penerbitan berulang (self-plagiarism).
  2. Tingkat Penarikan Artikel (Retraction Rate): Mengukur seberapa sering artikel ilmiah ditarik kembali setelah dipublikasikan karena ditemukan masalah serius, seperti kesalahan data, manipulasi, atau kecurangan.
Nah, kamu bisa lihat gambar diatas yang ada warna warninya itu, untuk warna merah, mereka kategorikan sebagai red flag alias masalah yang terdeteksi sangat parah dan kemungkinan besar bersifat meluas (sistemik) di dalam institusi tersebut, bukan sekadar kasus yang terisolasi. Ini lebih redflag dari mantan kamu yang mokondo itu kalau kamu wanita atau lebih redflag dari mantan kamu yang cegil itu kalau kamu pria.

Untuk warna orange sebenarnya parah juga tapi gak separah yang warna merah, kayak cowok mokondolah yang suruh isiin bensin tapi dia masih punya motor, kalau yang merah itu cowok mokondo yang sama sekali gak modal alias kalau jalan bareng, elu yang jemput dirinya. Secara Formal mereka mengkategorikan warna orange ini sebagai "Penyimpangan signifikan dari norma global". Artinya, praktik publikasi di institusi ini secara jelas berbeda dan menyimpang dari standar yang berlaku di tingkat internasional.

kalau warna kuning artinya dipantau atau bisa juga diingatkan, artinya ada potensi yang berisiko, harus segera berbenah, sudah ada bibit-bibit untuk jadi orange dan bisa jadi merah kalau tidak terkontrol. Kalau yang hijau dianggap sehat, mungkin ada akademisi yang nakal tapi itu dianggap oknum diinstitusi, kalau oknumnya mulai bertambah baru deh jadi kuning. Sementara yang putih itu dianggap sangat patuh. Institusi tentu tidak harus menjadi yang putih karena yang putih ini outlier, sangat jarang bisa merekrut akademisi dengan otak encer dan integritas tinggi untuk berada dilevel ini karena jauh lebih mudah merekrut akademisi dengan otak kopong sebab jumlah mereka lebih banyak.

Masalahnya dari Indeks ini adalah seperti yang saya ungkapkan diawal, Indonesia itu masuk kategori merah, orange, dan kuning untuk beberapa institusi. Bahkan yang masuk ini adalah institusi besar yang biasa dibangga-banggain oleh orang Indonesia. Bukan berarti yang gak masuk lebih baik ya, yang gak masuk itu bisa karena scopus publikasinya memang gak ada, CHUAKZ.

Lalu siapa saja yang masuk?

Mengagetkannya ada BINUS loh. Binus ini secara total masuk peringkat ke-11 dan skor RI² 0.609, BINUS menempati posisi dengan risiko tertinggi di antara universitas di Indonesia. Masalah utamanya adalah tingkat duplikasi teks yang luar biasa tinggi. Data menunjukkan bahwa 17.95% dari artikel ilmiahnya (% D 23-24) terdeteksi memiliki duplikasi. Hal ini menempatkan BINUS pada peringkat Norm D Rank 1, yang berarti BINUS memiliki peringkat terburuk untuk masalah duplikasi di antara semua institusi yang dianalisis dalam daftar ini. Sementara tingkat penarikan artikelnya (R rate) tidak seekstrem itu, skornya didominasi oleh masalah duplikasi teks yang sistemik.

tentu saja saya kaget, wong Binus ini suka sekali pencitraan soal integritas kok malah dapat skor yang buruk alias dianggap red flag untuk integritas paling dijaga dalam dunia akademik. Nyontek aja katanya didrop out, kok yang jelas-jelas nyontek diluar gak kena sanksi. Jangan sampai aturan tumpul keatas tapi tajam kebawah, berani gak Binus terbuka dan klarifikasi soal ini, harusnya beranilah ya, wong Binus ini sudah mempromosikan integritas nomor 1, masak menelan ludah sendiri.


Dibawah binus, jelas terlihat UNAIR. Universitas Airlangga berada di peringkat ke-40 dengan skor RI² 0.414. UNAIR menghadapi masalah signifikan pada dua bidang. Pertama adalah tingkat duplikasi teks yang sangat tinggi sebesar 11.58%, yang memberinya peringkat Norm D Rank 8 (termasuk dalam 10 besar terburuk di dunia untuk duplikasi). Kedua, UNAIR juga memiliki tingkat penarikan artikel (R rate) yang cukup tinggi yaitu 1.99. Kombinasi dari masalah duplikasi yang parah dan tingkat penarikan artikel yang tinggi inilah yang menempatkannya dengan kokoh di dalam kategori Red Flag.

Padahal UNAIR ini ditahun 2024 cepat tanggap loh soal Plagiasi tugas, masa tugas yang ecek-ecek bisa ditanggapi serius tapi yang masalah besar ini tidak. Saya yakin UNAIR masih punya Api integritas, bukan hanya menangani yang sedang viral saja, ayolah para petinggi UNAIR, lakukan bersih-bersih, sapu semua Akademisi culas berotak memek babi yang membuat nama Institusi jadi jelek.



Dibawah UNAIR terlihat jelas ada USU, Berada di peringkat ke-49 dengan skor RI² 0.400, masalah utama Universitas Sumatera Utara sangat terfokus pada duplikasi teks. Tingkat duplikasinya (% D 23-24) mencapai 11.91%, bahkan sedikit lebih tinggi dari Universitas Airlangga. Angka ini memberinya Norm D Rank 5, yang berarti USU termasuk dalam lima besar universitas dengan masalah duplikasi terburuk secara global menurut indeks ini. Tingkat penarikan artikelnya tidak terlalu menonjol, sehingga jelas bahwa anomali publikasi terkait duplikasi adalah pendorong utama skor risikonya yang tinggi.

Saya kira sejak ada tuduhan plagiasi pada petinggi si USU berbenah, ternyata belum sama sekali, sangat disayangkan. Kalau terus menerus seperti ini maka nama USU bisa jelek dimata dunia, apalagi USU ini sempat terseret kasus besar di 2021 soal integritas, harusnya memang ada People Power di USU yang memaksa USU untuk segera berbenah.



Sementara itu Universitas Hasanuddin menempati peringkat ke-69 dengan skor RI² 0.349. Mirip dengan USU, masalah utamanya juga terletak pada tingkat duplikasi teks yang tinggi, yaitu sebesar 10.15%. Angka ini menempatkannya pada Norm D Rank 22, yang masih merupakan peringkat yang sangat buruk dan menunjukkan adanya masalah sistemik terkait orisinalitas karya tulis. Meskipun tidak seekstrem peringkat duplikasi universitas di atasnya, angka ini sudah cukup untuk menandakan adanya penyimpangan signifikan dari norma global dan menempatkannya di zona Red Flag.

dan di peringkat ke-86 untuk kategori red flag tepat dibawah USU dengan skor RI² 0.317 ada Universitas Sebelas Maret adalah universitas terakhir dari Indonesia dalam kategori Red Flag di daftar ini. Kesalahannya juga serupa, yaitu tingkat duplikasi teks yang tinggi sebesar 9.46%. Angka ini menghasilkan Norm D Rank 27, yang menunjukkan adanya masalah serius terkait praktik daur ulang teks atau plagiarisme. Tingkat duplikasi yang mendekati 10% ini merupakan sinyal "anomali ekstrem" yang menjadi dasar penempatannya dalam kategori risiko tertinggi.

ngeri-ngeri sedap kalau kita lihat, lama-lama negara kita gak akan dipandang akademiknya dan sains akan susah maju dinegara ini karena orang malas memberi Hibah Penelitian. Saya harap ada pemimpin yang peduli dengan hal ini karena perkembangan sains itu bukan sekedar perkembangan didalam ruang-ruang kelas tetapi bisa diterapkan untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia seperti petani, nelayan, dll.

Komentar

Postingan Populer